PERJALANAN IKM DI INDONESIA
Tidak dapat dipungkiri bahwa industrialisasi di Indonesia sejak Pelita I hingga saat ini telah mencapai hasil yang diharapkan. Setidaknya industrialisasi telah mengakibatkan transformasi struktural di Indonesia. Pola pertumbuhan ekonomi secara sektoral di Indonesia agaknya sejalan dengan kecenderungan proses transformasi struktural yang terjadi di berbagai negara, di mana terjadi penurunan kontribusi sektor pertanian (sering disebut sektor primer), sementara kontribusi sektor sekunder dan tersier cenderung meningkat.
Kecenderungan ini terlihat pada Tabel 1. Pada tahun 1965, sektor pertanian merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (56 persen); sementara sektor industri baru menyumbang 13 persen dari PDB. Dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 11,9 persen selama 1965-1980 dan 6,1 persen selama 1980-1992, ternyata sektor industri telah menggeser peranan sektor pertanian dalam pembangunan. Pada tahun 1992, sektor industri secara keseluruhan menyumbang 40 persen terhadap PDB, di mana peranan industri manufaktur cukup menonjol karena menyumbang 21 persen terhadap PDB. Pada tahun yang sama, sumbangan sektor pertanian merosot drastis hingga tinggal 19 persen dari PDB. Ini sejalan dengan menurunnya laju pertumbuhan sektor pertanian, dari rata-rata 4,3 persen per tahun selama 1965-1980 menjadi 3,1 persen selama 1980-1992. Singkatnya, sektor industri manufaktur muncul menjadi penyumbang nilai tambah yang dominan dan telah tumbuh pesat melampaui laju pertumbuhan sektor pertanian.
Kendati demikian, laporan Bank Dunia (1993), yang berjudul Industrial Policy-Shifting into High Gear, menyimpulkan beberapa permasalahan struktural pada industri Indonesia. Pertama, tingginya tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang terselubung maupun terang-terangan, pada pasar yang diproteksi. Kedua, dominasi kelompok bisnis pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing di pasar global. Ketiga, lemahnya hubungan intra-industri, sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien. Keempat, struktur industri Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah. Kelima, masih kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong kemajuan teknologi. Keenam, investor asing masih cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented), dan sasaran usahanya sebagian besar masih pada pasar yang diproteksi.
Dalam konstelasi semacam ini, bisa dipahami mengapa terjadi dualisme dan lemahnya keterkaitan industri kecil dengan industri besar. Dualisme ini muncul karena orientasi industrialisasi berbasis pada modal besar dan teknologi tinggi, namun kurang berdasar atas kekuatan ekonomi rakyat (Kuncoro, 1995). Pengalaman Taiwan, sebagai perbandingan, justru menunjukkan ekonominya dapat tumbuh pesat karena ditopang oleh sejumlah usaha kecil dan menengah yang disebut community based industry. Perkembangan industri moderen di Taiwan, yang sukses menembus pasar global, ternyata ditopang oleh kontribusi usaha kecil dan menengah yang dinamik. Keterkaitan yang erat antara si besar dan si kecil lewat program subcontracting terbukti mampu menciptakan sinergi yang menopang perekonomian Taiwan.
Hanya saja strategi industrialisasi yang banyak mengandalkan akumulasi modal, proteksi, dan teknologi tinggi telah menimbulkan polarisasi dan dualisme dalam proses pembangunan. Fakta menunjukkan sektor manufaktur yang modern hidup berdampingan dengan sektor pertanian yang tradisional dan kurang produktif. Dualisme dalam sektor manufaktur juga terjadi antara industri kecil dan rumah tangga yang berdampingan dengan industri menengah dan besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar